Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. … Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja-pekerja kasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun? … Baru-baru ini saya melihat gambar orang tua di majalah. Dia telah 35 tahun menjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaan dodol. Potong-potong …potong terus, tiap detik, jam, hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun …sampai 35 tahun. Masya Allah![1]
Ahmad Wahib
Dengan beberapa kecuali,…. Guru-guru yang tidak cukup terdidik, sarjana-sarjana pengetahuannya sepotong-potong, atau polisi yang tidak tahu tugasnya sebagai penegak hukum…. pola masyarakat yang separuh terdidik dengan “trials and error-nya” masih akan berlangsung terus. Di sinilah terletak kontradiksi generasi kemerdekaan. Antara cita-cita untuk mengisi kemerdekaan dan rasa impoten dalam pelaksanaannya. Dan generasi inilah yang akan mewariskan Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi[2].
Soe Hok Gie, Kompas, 17 Agustus 1969
Mengapa mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun tidak ada bedanya (tidak berkembang)?
Mengapa sarjana-sarjana pengetahuannya sepotong-potong?
Masalahnya pasti bukan di intelektualnya, tetapi APA yang mengisi otaknya dan BERAPA BANYAK. Itulah sebabnya, “memaksa” para mahasiswa membaca semua buku yang seharusnya dibaca adalah KEHARUSAN. Dengan demikian, setelah lulus, mereka tidak perlu masuk dalam kategori sarjana dengan pengetahuan sepotong-potong, mereka bahkan dapat menjadi pembelajar seumur hidup, yang terus-menerus mengisi otaknya dengan membaca buku-buku dan mempraktekkannya. Dengan demikian, setiap sarjana mampu berpikir kritis, berwawasan luas, dan berkembang.
[1] Ulasan 18 Pers. 2017. Soe Hok Gie – Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, hal. 17. [2] Ibid.