OVERVIEW TEORI ALFRED ADLER
(Individual Psychology Approach)

Superiority atau Success
Tidak ada orang yang sempurna, semua memiliki kekurangan pada fisiknya. Kekurangan ini dapat memicu perasaan inferiority (rendah, minder), yang membuat seseorang memerlukan orang lain untuk bertahan hidup. Jadi, orang yang sehat jiwanya, pasti ingin bersatu dengan orang lain dan menjadi anggota dari suatu kelompok masyarakat (social interest).

Demi mengimbangi perasaan inferiority, setiap orang punya daya juang yang merupakan bawaan lahir. Daya juang ini mengarahkannya untuk menetapkan final goal, yaitu keinginan untuk meraih kesempurnaan atau keutuhan. Setiap orang ingin bergerak dari bawah ke atas, atau dari minus ke plus.

Ada yang memandang inferiority-nya secara berlebihan, maka mereka memilih berjuang untuk menjadi superiority (lebih hebat dan lebih berkuasa dibading orang lain). Ada juga yang memandang inferiority-nya sebagai hal yang normal, maka mereka memilih berjuang untuk menjadi sukses (sambil berjuang memenuhi kebutuhannya, sambil memikirkan kesejahteraan orang lain). Mereka berjuang agar semua orang mengalami kesuksesan (social interest).

Orang yang berjuang untuk menjadi superiority, termotivasi untuk menaklukkan orang lain, atau menarik diri. Mereka tidak peduli pada orang lain. Ada orang yang berusaha untuk mendapatkan superiority dengan organ jargon atau organ dialect, yaitu sikap atau perilaku yang secara tidak langsung menyatakan bahwa dirinya “tidak berdaya” karena penyakit tertentu, atau cacat tertentu. Tanpa suara, mereka berbicara dan menunjukkan keinginannya akan simpati dari orang lain. Dengan organ jargon ini, mereka mendapatkan superiority, semua orang mengalah padanya.
Orang-orang seperti ini mengalami inferiority complex. Contoh orang-orang yang memiliki inferiority complex adalah pembunuh, pencuri, penipu.

Namun, ada juga orang-orang yang dengan pandai membungkus perilaku mereka yang sangat terpusat pada diri sendiri, dengan baju “pemerhati sosial”. Mereka secara mencolok memamerkan simpati atau perhatian terhadap orang lain, namun sebenarnya semua tindakannya bertujuan untuk menjunjung tinggi namanya sendiri, dan bagi kepentingannya sendiri.

Berlawanan dengan mereka yang ingin menjadi superiority, orang-orang yang berjuang untuk sukses, justru tidak menomorsatukan kepentingan diri sendiri. Mereka menolong orang lain tanpa pamrih, dan mereka melihat orang lain bukan sebagai saingan, tetapi sebagai orang-orang yang bisa diajak bekerja sama demi kepentingan bersama. Singkatnya adalah “aku bersamamu” dan bukan “aku melawanmu”. Kesuksesan mereka bukan didapatkan dengan cara membebani atau merugikan orang lain, tetapi merupakan kecenderungan alami untuk mencari kesempurnaan atau keutuhan. Itulah sebabnya “berjuang untuk sukses” tidak dapat disamakan dengan perbuatan amal atau perbuatan kebaikan, karena mungkin saja motivasi di balik perbuatan itu berbeda.

Orang-orang yang berjuang untuk sukses bukan berarti tidak memikirkan diri sendiri, tetapi mereka mampu mendahulukan kepentingan orang banyak, “open-eyed co-operation”. Mereka sadar bahwa mereka terikat dengan orang lain dalam hal pekerjaan, bermasyarakat, dan cinta. Mereka memikirkan apa yang berguna atau bermanfaat bagi masyarakat. Kemajuan masyarakat lebih penting daripada pujian untuk diri sendiri.

Creative Power
Bagi Adler, manusia itu jauh dari sekadar produk biologis (heredity) dan lingkungan. Manusia itu kreatif atau punya creative power. Creative power adalah kemampuan manusia untuk menggunakan kebebasannya dalam memilih dan menjalani hidupnya sendiri. Setiap orang adalah arsitek bagi dirinya sendiri. Adler menjelaskan hal ini dengan analoginya yang disebut “the law of the low doorway”. Jika seseorang ingin melewati pintu yang rendah, maka ada dua pilihan yang bisa dilakukannya. Ia dapat menggunakan creative power untuk memilih menunduk dan melewati pintu tersebut, atau memilih tetap tegak dan menabrak pintu.

Style of Life
Manusia itu self-consistent, karena itu jalan yang dipilihya, akan selaras dengan style of life. Style of life mengacu kepada corak, warna, atau gaya hidup seseorang, yang meliputi goal, self-concept, perasaannya terhadap orang lain, dan sikapnya terhadap dunia. Style of life adalah produk dari perpaduan antara bawaan lahir, lingkungan, dan creative power seseorang, yang banyak terbentuk di usia empat atau lima tahun. Style of life inilah yang mengarahkan bagaimana seseorang bereaksi terhadap lingkungannya. Adler yakin bahwa setiap orang punya wewenang untuk menciptakan style of life masing-masing, karena setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya.

Adler membedakan tiga jenis style of life yang tidak sehat: 1) minder, 2) manja, 3) acuh tak acuh. Orang-orang yang minder adalah orang-orang yang gagal membuat kompensasi untuk mengimbangi inferiority. Mereka terlalu membesar-besarkan kekurangan mereka dan memilih menghindar atau kabur, sehingga menjadi orang yang tidak berguna untuk masyarakat. Orang yang manja adalah orang yang kurang punya social interest. Mereka menganiaya orang lain dan berharap setiap orang memenuhi keinginannya yang egois. Jika diminta hidup mandiri, mereka merasa dianiaya, diabaikan, dan ditinggalkan. Orang yang acuh tak acuh adalah orang yang kurang percaya diri, sering membesar-besarkan masalah, tidak mempercayai orang lain, sulit bekerja sama, iri terhadap kesuksesan orang lain, menganggap semua orang adalah musuh. Mereka hampir sama dengan orang yang manja, hanya saja mereka lebih gampang curiga dan lebih berbahaya bagi orang lain.

Orang yang berjuang untuk sukses dapat menemukan berbagai cara dengan menciptakan peluang-peluang baru bagi dirinya untuk mencapai goal-nya. Mereka secara fleksibel dan aktif berjuang untuk memecahkan tiga masalah utama dalam hidup, yaitu harmonis dalam masyarakat (neighborly love), cinta (sexual love), dan pekerjaan atau jabatan (occupation). Mereka mampu melampaui masalah-masalah tersebut melalui bekerja sama, tidak putus asa, dan punya keinginan untuk berkontribusi bagi kesejahteraan orang lain. Mereka memiliki style of life yang komplek, selalu berkembang, dan berubah. Sebaliknya, mereka yang berjuang untuk menjadi superiority, akan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya secara kaku dan tidak fleksibel.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan dalam gambar di bawah ini:

POLA ASUH YANG MEMPENGARUHI
Sebenarnya setiap orang mempunyai potensi social interest, karena itu adalah bawaan lahir. Namun, masih perlu dikembangkan hingga mengarah kepada style of life yang sehat. Style of life seseorang dipengaruhi oleh pola asuh yang diterimanya di masa kecil, sebelum usia lima tahun.

Hubungan anak dengan ibu dan ayahnya sangatlah menentukan, karena bentuk hubungan tersebut mengembangkan atau bahkan menutupi efek dari potensi social interest (bawaan lahir) yang dimiliki anak. Adler juga berpendapat, bahwa sesudah usia lima tahun, efek bawaan lahir tersebut menjadi kabur, karena kuatnya pengaruh lingkungan sosial si anak. Kekuatan lingkungan akan memodifikasi atau membentuk hampir setiap aspek dari kepribadian anak.

Peran ibu yang menyusui dan memberikan perhatian dengan penuh kasih sayang, membantu si anak melihat dan merasakan pentingnya kerja sama, sehingga mengembangkan potensi social interest yang telah dimilikinya. Sikap ibu terhadap ayah dan orang lain, sikap take and give yang ditunjukkan si ibu, juga berkontribusi terhadap pengembangan social interest anak.

Ayah adalah orang penting kedua dalam lingkungan sosial anak, karena itu menurut Adler, para ayah perlu menghindari dua kesalahan yang menghambat pengembangan social interest anak, yaitu emotional detachment dan paternal authoritarianism. Jika ayah tidak menunjukkan adanya hubungan emosional dengan anak, maka anak akan merasa diabaikan, sehingga ada kemungkinan menjadi parasit yang melekat pada ibunya. Demikian juga, seorang anak yang selalu memperoleh kekerasan dan diskriminasi akan memandang dunia sekitarnya “berbahaya”. Jika anak melihat bahwa ayahnya adalah seorang yang lalim, maka anak akan belajar berjuang untuk kekuasaan dan menjadi superiority.

TIPE KEPRIBADIAN
Menurut Adler, tingkat keaktifan seseorang berperan menentukan tipe kepribadian, walaupun tingkat keaktifan itu sendiri belum dideskripsikan secara kuantitatif. Adler hanya menjelaskan bahwa anak-anak yang suka berlari-lari dan berkelahi di jalan mempunyai tingkat keaktifan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang suka duduk di rumah dan membaca buku. Tingkat keaktifan seseorang jika dikombinasikan dengan tinggi dan rendahnya level social interest, maka akan terbentuk menjadi:

Social useful person adalah tipe yang paling ideal. Kepribadian dengan tingkat keaktifan rendah dan level social interest tinggi mustahil terjadi. Tipe ruling person kemungkinan adalah orang-orang yang sadis, lalim, atau penjahat. Tipe getting person adalah orang-orang yang menerima segala sesuatu, tetapi tidak pernah memberi apa pun sebagai balasan. Tipe avoiding person adalah tipe yang menjadi pertapa, suka menyendiri.

PENGARUH BIRTH ORDER (URUTAN KELAHIRAN)
Menurut Adler, urutan kelahiran seseorang turut membentuk kepribadiannya. Berdasarkan teori ini, Frank Sulloway (1996) mengeluarkan buku yang berjudul Born to Rebel: Birth Order, Family Dynamics and Creative Lives di mana ia mengungkapkan argumennya mengenai pengaruh birth order terhadap kepribadian seseorang. Saudara kandung, sebagaimana diungkapkan olehnya, berkompetisi untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Cara atau strategi anak berkompetisi akan mempengaruhi kepribadian mereka. Karena itu, birth order dapat digunakan untuk memprediksi ciri kepribadian seseorang.

Anak pertama cenderung memiliki perasaan superior, kecemasan yang tinggi, dan kecenderungan overprotektif. Anak pertama memiliki posisi yang unik, karena mereka merupakan anak tunggal untuk beberapa waktu dan kemudian merasakan ‘penurunan dari takhta’ yang traumatis.

Anak kedua memiliki kepribadian yang dibentuk oleh persepsi mereka terhadap perilaku anak yang lebih tua terhadap mereka. Jika perilaku tersebut adalah perilaku yang penuh permusuhan dan rasa kebencian, maka anak kedua bisa menjadi sangat kompetitif dan kecil hati. Namun, anak kedua pada umumnya memiliki rasa kompetitif yang sehat untuk menyusul saudara kandung yang lebih tua. Sulloway mendukung teori Adler dengan menyatakan bahwa anak pertama cenderung berorientasi dalam prestasi, gelisah, dan konformis, sedangkan anak yang lahir selanjutnya (anak kedua, ketiga dan seterusnya) cenderung memiliki sisi petualang, suka memiliki pengalaman baru, inovatif, dan menolak status quo.

Terima kasih Mba Wieka dan Mba Aya.
Sumber: Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2013). Theories of Personality. New York: McGrow-Hill Education.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *