TEORI KAREN HORNEY (3)

Semua orang normal pasti menggunakan ketiga gaya hidup itu (moving toward, moving against, moving away) dengan imbang dan seperlunya. Jika lingkungan mereka normal, ada cukup disiplin & kehangatan, maka mereka akan mengembangkan rasa aman dan percaya diri, serta kecenderungan untuk mewujudkan self-realization.

Namun, neurotic people memaksakan satu gaya hidup. Mereka secara konsisten menginterpretasikan pengalaman baru dengan pola yang sudah terbentuk. Akibatnya menghasilkan intrapsychic conflict (inner conflict), yang ternyata dalam:

  1. Idealized self-image
    • Neorotic search for glory
      • Mengejar kesempurnaan
      • Neurotic ambition
      • Menyimpan dendam jika kalah, dengan berusaha keras mempermalukan dan mengalahkan
    • Neurotic claims
    • Neurotic pride
  2. Self-hatred
    • Relentless demand on the self (tuntutan yang tidak ada habisnya terhadap diri sendiri).
    • Merciless self-accusation (menuduh/mendakwa diri sendiri tanpa belas kasihan)
    • Self-contempt (jijik terhadap diri sendiri)
    • Self-frustration (frustrasi sehingga mengekang diri agar tidak menikmati kesenangan)
    • Self-torment atau self-torture (menyakiti atau melukai diri sendiri)
    • Self-destructive action and impulses (tindakan yang merusak diri sendiri)

Semua hal di atas bersumber dari pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain (interpersonal conflict), tetapi karena hal-hal itu sudah menjadi bagian dari “belief system” (sistem keyakinan seseorang), maka mereka berkembang sendiri, terlepas dari masalah sebelumnya (interpersonal conflict).

Horney merangkumnya sebagai berikut:
Ketika seseorang membuat perjanjian dengan Iblis, yang berjanji memberikannya kemuliaan, ia harus pergi ke neraka – neraka dalam dirinya sendiri.

IDEALIZED SELF-IMAGE
Usaha menyelesaikan konflik dengan mengembangkan image tentang dirinya sendiri sebagai orang yang sangat sempurna (godlike picture).

Usaha untuk membangun image diri sebagai orang yang sangat sempurna malah menciptakan jarak antara jati diri yang sebenarnya (real self) dengan jati diri yang diinginkan (idealized self). Jarak ini makan lama makin besar, sehingga membuat ia makin membenci real-self.

Di sisi lain, manusia sangat butuh punya identitas diri yang stabil. Itulah sebabnya mereka menciptakan self-image yang ideal (idealized self-image), pandangan positif tentang dirinya sendiri yang luar biasa dibesar-besarkan, dan itu hanya terjadi di personal belief-system (sistem keyakinan) mereka. Mereka sangat yakin bahwa dirinya punya kekuatan/kekuasan dan kemampuan yang tidak terbatas. Mereka menganggap dirinya pahlawan, genius, kekasih yang ideal, kudus, tuhan.

Compliant people -> memandang dirinya baik dan kudus
Aggressive people -> memandang dirinya kuat, pahlawan, dan mahakuasa
Detached people -> memandang dirinya bijaksana, dapat mencukupi diri, dan mandiri

Makin lama, mereka makin mempercayai khayalan mereka itu sebagai realitas. Mereka tidak lagi mempercayai real-self, malah menggunakan idealized-self sebagai standar untuk mengevaluasi diri. Itulah sebabnya mereka tidak berkembang menuju self-realization, tetapi malah berusaha membuat nyata idealized-self-nya.

Menurut Horney ada 3 aspek idealized self, yaitu:

  1. Neorotic search for glory
    Neurotics yakin bahwa mereka begitu sempurna, maka cita-cita, self-concept, dan caranya berhubungan dengan orang lain, semuanya berlandaskan keyakinan itu. Mereka menjadi orang yang mencari kehormatan, melalui:

    • Mengejar kesempurnaan
      Terjebak dalam “penjara boleh dan tidak boleh (tyranny of the should)”.
    • Neurotic ambition
      • Walaupun ingin meninggikan diri dalam banyak hal, namun lebih mencurahkan energi di bidang yang probabilitas untuk sukses lebih besar.
      • Tidak berarti hanya mengejar hal-hal materi saja, bisa juga mengejar kekudusan, atau mengejar karakteristik tertentu dalam masyarakat (menjadi orang yang paling ceria).
    • Menyimpan dendam jika kalah, karena itu berusaha keras mempermalukan, mengalahkan, menyengsarakan orang lain melalui menjadikan dirinya luar biasa sukses, atau mendapatkan kekuasaan.
      Walaupun sudah mendapatkan kemenangan, ia akan meningkatkannya lagi, sehingga tidak pernah ada habisnya, karena setiap kesuksesan justru meningkatkan rasa takut dikalahkan, sekaligus rasa “diagungkan”.
  2. Neurotic claims
    • Yakin kalau ada yang salah dengan pemerintahan atau dunia, dan cuma mereka yang tahu dan bisa membereskan. Itulah sebabnya mereka merasa berhak untuk diperlakukan sesuai dengan idealisme mereka.
    • Mereka mengajukan tuntutan-tuntutan, yang menurut mereka sangat cocok dengan idealisme mereka.
      Karena mereka menganggap tuntutan mereka sangat idealis, maka mereka buta dan tidak menyadari bahwa tuntutan itu sangat tidak masuk akal.
    • Jika orang normal, tuntutannya tidak dipenuhi, mereka kecewa, tetapi dapat menerimanya. Namun, neurotic akan marah, limbung, dan tidak dapat paham mengapa orang lain tidak memenuhi tuntutan mereka.
  3. Neurotic pride
    • heathy pride atau realistic self-esteem
      Self-esteem yang sejati didapatkan karena karakteristik dan pencapaian yang sebenarnya dan biasanya menyatakan martabat tapi secara diam-diam.
    • Bangga tapi bukan karena hal yang sebenarnya, tetapi karena image palsu dari idealized self. Dinyatakan dengan “suara keras” untuk melindungi dan mendukung idealized-self.
    • Sakit hati jika tidak diperlakukan istimewa. Untuk menghindari sakit hati seperti itu, mereka berusaha bergaul dengan kalangan kelas atas dan yang bergengsi.

SELF-HATRED
Neurotic search for glory tidak pernah bahagia dengan dirinya, karena ketika mereka mulai menyadari jati diri mereka yang sebenarnya, yang tidak sesuai dengan tuntutan idealized self yang sangat tinggi, mereka akan mulai membenci dan merendahkan dirinya.

Horney menyebutkan 6 cara orang yang menyatakan self-hatred:

  1. Relentless demand on the self (tuntutan yang tidak ada habisnya terhadap diri sendiri). Ini adalah orang-orang yang terjebak dalam tyranny of the should (harus begini, harus begitu). Mereka tidak pernah berhenti memaksa dirinya untuk lebih sukses dan lebih sempurna.
  2. Merciless self-accusation (menuduh/mendakwa diri sendiri tanpa belas kasihan).
    Tidak henti mencaci diri sendiri, karena mereka menyadari bahwa mereka menipu orang lain. Semua yang mereka katakan adalah penipuan. Bentuk dakwaan terhadap diri sendiri bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah ekspresi yang super muluk, seperti menjadi penanggung jawab terjadinya bencana alam, atau dengan luar biasa detil memerinci makna dari motivasi mereka.
  3. Self-contempt (jijik terhadap diri sendiri).
    Kecenderungan untuk merendahkan jati dirinya (real-self) hingga taraf tidak masuk akal. Dengan demikian, menghalangi dirinya untuk maju atau mencapai sesuatu.
  4. Self-frustration (frustrasi sehingga mengekang diri agar tidak menikmati kesenangan).
    Orang normal yang punya self-discipline, menunda kesenangannya untuk mencapai tujuan yang masuk akal.
    Self-frustration disebabkan oleh keinginan mewujudkan jati diri (self-image) yang telah digembungkan sebesar-besarnya. Dengan demikian, mereka mengekang diri sendiri agar tidak menikmati kesenangan. “Aku tidak layak untuk mendapatkan mobil baru.” “Aku tidak boleh pakai baju bagus, karena banyak orang miskin di sekitar kita.” “Aku tidak pantas naik jabatan, karena aku memang kurang bagus untuk itu.”
  5. Self-torment atau self-torture (menyakiti atau melukai diri sendiri).
    Orang seperti ini biasanya memulai pertengkaran atau baku hantam, padahal mereka tahu bahwa mereka pasti kalah; mengiris-ngiris diri dengan pisau, membesar-besarkan sakit kepala.
  6. Self-destructive action and impulses (tindakan yang merusak diri sendiri).
    Bisa dilakukan secara fisik atau psikis, sadar atau tidak sadar, serius atau kronis, dilakukan secara nyata atau hanya di imaginasi.
    Contoh merusak diri secara fisik adalah makan berlebihan, minum minuman keras atau pecandu narkoba, bekerja terlalu keras, mengemudi secara mengerikan, bunuh diri.
    Contoh merusak diri secara psikologis adalah keluar dari pekerjaan tepat di saat hendak sukses, memutuskan hubungan yang telah berjalan dengan baik, terlibat dalam hubungan seks yang kacau balau.
Terima kasih Mba Wieka dan Mba Aya.
Sumber: Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2013). Theories of Personality. New York: McGrow-Hill Education.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *