PERLUKAH MEMBENARKAN PERBUATAN SENDIRI? (2)

PERLU BANGET. Mengapa?
Manusia punya kebutuhan untuk menjaga self-image yang positif dan stabil (perhatikan kata “positif dan stabil”). Kebanyakan orang yakin bahwa mereka lebih etis dan lebih kompeten, bisa nyopir lebih baik, bisa mimpin lebih baik, bisa menilai lebih baik, lebih menarik daripada kebanyakan orang. Namun, apa yang terjadi jika suatu saat, mereka sadar bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang sangat tidak masuk akal, tidak bermoral, dan bodoh?
Terjadilah konflik diri.

Konflik ini oleh Leon Festinger disebut dengan cognitive dissonance, yaitu perasaan yang sangat tidak nyaman karena kelakuan/perbuatannya tidak sama dengan apa yang diyakininya. Karena itu, orang-orang akan melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa tidak nyaman itu. Pada prinsipnya ada 3 cara, tapi sebenarnya tidak sesederhana itu.

  1. Cara pertama, mengubah perilaku – bertobat saja dari perbuatan yang tidak benar, dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan self-image semula.
  2. Cara kedua, mencoba membenarkan perbuatan yang tidak benar dengan mengubah cara berpikir.
  3. Cara ketiga, mencoba membenarkan perbuatan yang tidak benar dengan menambah pemikiran baru.

Cara pertama, mengubah perilaku itu seharusnya paling gampang dimengerti, tetapi paling susah untuk dilakukan. Karena itu, kebanyakan orang mengembangkan cara kedua dan cara ketiga. Contohnya, orang yang merokok. Mereka tahu bahwa perbuatan mereka itu merugikan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini membuat mereka merasa tidak nyaman. Bagaimana caranya agar merasa nyaman?

  1. Cara pertama, berhenti merokok. Tapi berhenti merokok itu hampir mustahil.
  2. Cara kedua, mengubah cara berpikir. Banyak perokok punya cara-cara kreatif untuk membenarkan diri.
    • Mereka bilang, merokok itu memang menyebabkan kanker tapi itu sepadan, karena sangat nikmat dan bisa bikin rileks. Rileks itu juga bisa meningkatkan kesehatan.
    • Mereka bilang, lihatlah kakekku, umurnya sudah 87 tahun, tetap sehat, padahal sehari merokok satu bungkus sejak beliau berusia 12 tahun.
    • Pembenaran diri seperti ini dilakukan siapa saja di belahan dunia mana saja, bahkan ibu-ibu hamil yang merokok juga meyakinkan diri sendiri bahwa semua data berkaitan dengan nikotin hingga kanker itu belum tentu sepenuhnya benar (ini mendistorsi kebenaran).
  3. Cara ketiga, menambah pemikiran baru atau self-affirmation. Mereka mencoba fokus pada hal-hal bagus di atas dirinya untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar. Misal: mereka bilang, saya memang perokok, tetapi saya adalah chef yang hebat, saya bisa masak apa saja dan semua orang suka masakan saya.
Sumber:
Aronson, E., Wilson, T., Akert, R., & Sommers , S. (2016). Social Psychology (9 ed.). United States of America: Pearson Education, Inc.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *